Selasa, 30 April 2013

jogja


Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya
Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755
yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah
tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas
nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi
Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua :
Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta,
setengah lagi menjadi Hak Pangeran
Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran
Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah
daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar
Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega
Abdul Rachman Sayidin Panatagama
Khalifatullah.
Adapun daerah-daerah yang menjadi
kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta),
Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan
ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun,
Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro,
Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro,
Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.
Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu,
Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan
Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa
Daerah Mataram yang ada di dalam
kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta
Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta
(Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada
tanggal 13 Maret 1755.
Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat
pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut
Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil
bernama Pachetokan, sedang disana terdapat
suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang
dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan
namanya kemudian diubah menjadi Ayodya.
Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan,
Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan
kepada rakyat membabad hutan tadi untuk
didirikan Kraton.
Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku
Buwono I berkenan menempati pasanggrahan
Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah
dikerjakan juga. Menempatinya pesanggrahan
tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755.
Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan
mengatur pembangunan kraton yang sedang
dikerjakan.
Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I
berkenan memasuki Istana Baru sebagai
peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota
Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah
Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan
Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan
Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di
Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi
Tanggal 7 Oktober 1756
Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755,
bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan
Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu
kawasan diantara sungai Winongo dan sungai
Code dimana lokasi tersebut nampak strategi
menurut segi pertahanan keamanan pada waktu
itu
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri
Paduka Paku Alam VIII menerima piagam
pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil
Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI,
selanjutnya pada tanggal 5 September 1945
beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan
bahwa daerah Kesultanan dan daerah
Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang
menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut
pasal 18 UUD 1945. Dan pada tanggal 30
Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua
yang menyatakan bahwa pelaksanaan
Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta
akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono
IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama
Badan Pekerja Komite Nasional
Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi
bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi
bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk
suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota
yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan
dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum
menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab
kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang
pemerintahan massih tetap berada di tangan
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan
dan Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau
Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I menyatakan
bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi
wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta
beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang
sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan
Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang
berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte
Kota Yogyakaarta.
Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota
pertama yang dijabat oleh Ir.Moh Enoh
mengalami kesulitan karena wilayah tersebut
masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa
Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu
semakin nyata dengan adanya Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa
Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja
Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi
bagian Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh
Mr.Soedarisman Poerwokusumo yang
kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah
Harian serta merangkap menjadi Pimpinan
Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR
dengan anggota 25 orang. DPRD Kota
Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei
1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil
Pemilu 1955.
Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-
undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-
pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala
Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil
Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian
serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya
Yogyakarta.
Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966
dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
Berdasarkan Undang-undang tersebut, DIY
merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I
yang dipimpin oleh Kepala Daerah dengan
sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Wakil Gubernur Kepala Daerah
Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh
ketentuan masa jabatan, syarat dan cara
pengankatan bagi Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliiau Sri
Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka
Paku Alam VIII. Sedangkan Kotamadya
Yogyakarta merupakan daerah Tingkat II yang
dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II dimana terikat oleh ketentuan masa
jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi
kepala Daerah Tingkat II seperti yang lain.
Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan
untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah
secara otonom semakin mengemuka, maka
keluarlah Undang-undang No.22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur
kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi
daerah secara luas,nyata dan bertanggung
jawab. Sesuai UU ini maka sebutan untuk
Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah menjadi
Kota Yogyakarta sedangkan untuk
pemerintahannya disebut denan Pemerintahan
Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta
sebagai Kepala Daerahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar